Teguh A. R.
2 min readDec 4, 2020

Perlukah Toleran akan Intoleransi?

Katanya, ketika bule datang ke Indonesia kita selalu disebut sebagai bangsa yang toleran dan menerima perbedaan. Mungkin itu sebabnya kita juga toleran ketika puluhan tahun dibohongi koruptor.

Pun dalam prinsip Gotong Royong, sejatinya kita juga seharusnya toleran. Selama memiliki tujuan baik bersama (dan mau bekerja semampunya), maka sejatinya toleransi terhadap perbedaan antar sesama telah terbentuk.

Jangan lupa pula prinsip negara Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa: Berbeda-beda tapi tetap satu, tak ada kebenaran yang mendua.

Dalam prinsip kebebasan berpendapat, kita bisa dibilang cukup toleran dengan konsep bebas bertanggung jawab. Setiap orang bebas berpendapat, tapi juga harus dapat dipertanggungjawabkan.

Meski begitu, intoleransi tetap ada di Indonesia, lebih-lebih belakangan ini. Sulitnya mendirikan tempat ibadah bagi agama minoritas, diskriminasi etnis, bahkan konflik karena perbedaan pilihan politik merupakan bentuk intoleransi nyata.

Dalam kondisi seperti itu, bagaimana bangsa yang toleran harus bersikap? Apakah toleransi juga tetap harus diterapkan pada tindakan-tindakan intoleran?

Menurut Popper, ini disebut sebagai paradox of tolerance. Sederhananya, penerapan toleransi yang utuh pada akhirnya harus tidak toleran terhadap intoleransi yang berbahaya.

Hal ini disebabkan oleh kecenderungan kelompok intoleran yang akan melawan beberapa hal:

1. Semua argumen yang bersifat rasional;
2. Melarang pengikutnya untuk mendengarkan/membaca argumen lain;
3. Melawan argumen dengan kekerasan.

Mungkin ini alasan kebijakan kita jadi sedikit kacau dan pada akhirnya justru membawa kita pada hal yang dikhawatirkan oleh Popper: Semena-mena menekan pemikiran-pemikiran yang dianggap intoleran.

Padahal, syarat pemikiran intoleran yang tidak perlu ditoleransi adalah tidak dapat dilawan dengan argumen dan tidak dapat diawasi oleh opini publik.

Belum lagi permasalahan pemikiran mana yang dapat disebut intoleran atau bukan, lebih-lebih mana yang membahayakan atau bukan.

Mungkin memang belum waktunya kita menerapkan logika dalam paradoks kompleks seperti ini dalam dasar pengambilan kebijakan kita. Sudah, mereka suruh datang sidang paripurna saja sudah dulu, baru deh bahas hal-hal rumit seperti ini.

Teguh A. R.
Teguh A. R.

No responses yet