Perjalanan Saya dari Agnostik Menuju Islam
Saya terlahir dari keluarga yang tidak taat-taat amat masalah agama. Sejak taman kanak-kanak hingga SD saya memang disekolahkan di sekolah Islam. Bukan karena ingin agar saya dididik secara Islami, tapi karena hanya sekolah Islam yang waktu itu menggunakan celana panjang. Waktu kecil, kaki saya bentol-bentol sehingga malu kalau pakai celana pendek.
Keluarga saya dekat dengan nuansa Kejawen, sehingga meskipun saya disekolahkan dengan model pendidikan yang Islami, ajaran agama ini kurang begitu meresap di saya. Di sekolah disuruh sholat, tapi di rumah jarang ada yang sholat meskipun semuanya ikut puasa dan sholat Ied di bulan Ramadhan. Jadi ya, bisa dibayangkan kan bagaimana hasilnya?
Sewaktu SMP saya disekolahkan di sekolah negeri. Pindah dari sekolah Islam ke sekolah negeri memang cukup terasa, ajaran-ajaran agama diberikan seadanya saja, tidak seintensif saat saya SD dulu. Kalau dulu saya diwajibkan untuk sholat Dhuhur dan Ashar, semenjak SMP tidak ada kewajiban sholat kecuali sholat Jumat. Praktis, saya semakin jauh dari agama.
Saat SMA, jiwa “pemberontak” saya menjadi. Saya telan mentah-mentah bacaan-bacaan di internet yang mengkritisi agama dan paradigma umum. Mendadak saya mengaku-ngaku sebagai seorang agnostik-atheis yang tidak percaya dengan agama maupun Tuhan. Melihat perilaku ormas agama yang waktu itu lagi beringas-beringasnya, saya semakin menjadi. “Agama ini hanya merusak! Membuat orang bodoh!”, pikirku dulu.
Waktu itu era Twitter, saya lampiaskan betul kekesalan saya di media sosial ini. Setiap hari selalu nge-tweet kritis soal agama, yang kalau saya pikir-pikir sekarang rendahan juga kritik saya. Akhirnya, teman-teman saya penasaran kenapa kok bisa ada orang seperti saya. Setiap kali bertemu saya di sekolah, mereka kukuh mengajak saya untuk sholat berjamaah. Tentu saya tolak, wong waktu itu saya ngakunya agnostik-atheis! Semakin saya diajak, semakin saya menjadi dan membenci agama. Lucunya, dari SMP hingga SMA, nilai mata pelajaran agama saya hampir selalu paling bagus.
Menginjak kuliah, saya berada di fase kegalauan. Pada titik ini, saya mulai mengkritisi pemikiran saya sendiri. Diskusi tentang hal-hal seperti agama, kepercayaan, dan keTuhanan sering dilakukan, entah sambil nongkrong atau di kelas. Semakin saya mengikuti diskusi ini, semakin saya mempercayai bahwa Tuhan itu ada. Saya berubah menjadi agnostik-atheis menjadi seorang agnostik-theis. Aneh memang, dikala yang lain justru seringkali hilang kepercayaannya terhadap agama, saya justru semakin penasaran dengan agama.
Tapi saya tetap berpendirian teguh pada prinsip-prinsip agnostisisme dan enggan mengakui kebenaran agama manapun, termasuk agama yang tertulis di KTP saya sendiri. Saya hanya percaya bahwa Tuhan itu ada, titik.
Semakin bertambah tua semester saya, semakin sering diskusi seperti ini muncul. Seringkali diskusinya juga nggak diniati, tapi muncul-muncul sendiri waktu nongkrong. Pemikiran-pemikiran “nakal” yang selama ini cuma bisa saya pikir sendiri bisa disalurkan di diskusi-diskusi ini. Saya harus berterima kasih pada teman-teman saya yang mau diskusi dengan saya, Ucup dan Andaru. Ucup dulu pernah mondok di Jombang dan Andaru aktif di organisasi yang dekat dengan Nahdlatul Ulama. Keduanya, meskipun juga nggak alim-alim amat, memperkenalkan saya dengan Islam dengan cara mereka.
Saya mungkin seorang pendosa karena jauh dari agama, tapi mereka tidak pernah memandang saya demikian. Wong mereka juga masih sering berbuat dosa.
Saya mengkritisi cara pandang agama yang mereka percayai betul, tapi mereka tidak pernah marah agamanya saya kritisi. Wong mereka juga seringkali ikut mengafirmasi kritik saya.
Dengan keterbatasan ilmu agamanya, mereka tetap menjawab semua pertanyaan dan kritik saya. Beberapa kali memang tidak terjawab, namanya juga masih mahasiswa, tapi jawaban-jawaban mereka selalu masuk akal menurut saya, sesuatu yang jarang saya terima sebelumnya. Jawaban-jawaban mereka menjembatani pemikiran-pemikiran kritis ala-ala agnostik dengan pandangan dalam Islam sepemahaman mereka. Saya tidak pernah “diintimidasi” oleh ayat-ayat maupun hadits-hadits, tapi dengan logika plus kepercayaan dalam Islam. Diskusi seperti ini terjadi tanpa rencana dan berkali-kali.
Semenjak itu saya mulai penasaran dengan Islam. Berbeda dengan cerita-cerita biasanya yang akhirnya mereka memutuskan untuk ikut pengajian dan berhijrah, saya memutuskan untuk membaca dan mendengarkan buku dan rekaman ceramah sendirian. Karya tulis dan sudut pandang Cak Nun, Gus Dur, Gus Mus, dan Quraish Shihab saya coba pahami, sendirian.
Selama fase ini, hanya saya dan pemikiran saya sendiri yang “bertarung”, tanpa ada dukungan dan dorongan orang lain sebagaimana terjadi di hijrah-hijrah itu. Karena sampai detik ini saya masih percaya bahwa urusan kepercayaan adalah urusan saya pribadi, dan semakin saya didorong oleh orang lain semakin saya sulit untuk menerima. Tentu belajar satu arah ini tidak akan sesempurna dan sebaik dengan ikut pengajian dan sejenisnya, tapi ini satu-satunya cara yang bisa saya terima.
Seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa sejatinya agama dan kepercayaan tidak sebagaimana yang saya pandang selama ini. Agama mengajarkan keindahan dalam hidup, sementara apa yang saya benci selama ini seperti kekerasan, kebodohan, dan sejenisnya, bisa jadi justru timbul dari kesalahan dari manusia itu sendiri.
Saya jadi sadar bahwa banyak orang-orang baik yang ternyata juga taat beragama, tapi banyak juga orang-orang yang rusuh dan taat beragama. Dua-duanya sama-sama taat dalam beragama, kenapa jadi agama yang selama ini saya permasalahkan?
Pun seiring berjalannya waktu, saya jadi lebih bisa menikmati hidup dengan nilai-nilai agama. Saya tidak lagi sepesimis dan seskeptis dulu dalam memandang hidup. Dengan tetap menerima ajaran-ajaran agama, tidak berarti saya juga harus meninggalkan pola pikir kritis saya. Saya tetap dapat kritis sekaligus beragama. Keduanya tidak bertolak belakang, melainkan seharusnya dapat berdampingan. Dan ternyata, orang beragama itu santai-santai saja. Tidak ada yang menyalahkan, tidak ada yang membenarkan, karena toh ujung-ujungnya ini masalah saya dengan Tuhan.
Tentu, saat ini saya tidak bisa (dan mungkin tidak akan pernah bisa) menyebut diri saya sebagai seorang Islam yang taat sempurna. Saya seringkali masih hanya menyerahkan diri ketika saya merasa butuh dan malas untuk beribadah. Ilmu agama saya juga masih cetek, tidak ada apa-apanya dengan remaja-remaja yang lagi mondok. Perjalanan saya juga masih panjang. Tapi kalau sekarang anda tanya saya, apa agama saya, saya sudah bisa jawab tanpa harus sensitif lagi kalau ditanya.
Intinya,
Kalau ada teman kamu ngakunya atheis atau agnostik, jangan mendadak jadi penceramah. Kalau kamu memang benar-benar peduli, ajak diskusi, biarkan dia bicara. Coba berikan pandangan yang bisa menjembatani pandanganmu dan pandangannya. Jangan paksakan hal-hal yang sifatnya ritualis secara langsung, karena mereka lebih butuh pemahaman tanpa intimidasi dan batasan-batasan ritual. Dan yang terpenting:
Jadilah orang yang bisa menemani, bukan orang yang bisanya menghakimi.