Omong Kosong Demokratisasi Perdagangan
Belakangan aku sadar bahwa ini cuma kelakar cukong-cukong semata. Dengan istilah-istilah yang terkesan intelektual, aku terpikat dengan bayangan bahwa proses ekonomi saat itu sungguh tidak efisien.
“Alangkah serunya kalau semua barang di toko bisa kubeli di internet dengan setengah harga,” pikirku.
Jangan Cek Toko Sebelah
Saat ke pasar, kita hapal betul toko mana saja yang harganya paling murah, produknya paling lengkap, atau barangnya kualitas terbaik. Saking pedenya, toko-toko ini punya catchphrase “Cek toko sebelah”. Kalau tidak suka dengan tawaran mereka, silakan saja cek toko sebelah.
Kemudian datang Toko Oren dengan janji-janji demokratisasi perdagangan. “Perekonomian harus inklusif! Semua orang bisa berjualan!” katanya.
Barang-barang memang datang lebih murah. Celana yang di pasar seharga 200 ribu, ternyata di Toko Oren hanya 50 ribu.
“Selama ini kita dibohongi cukong pasar! Aku bisa berhemat 150 ribu!” pikirku.
Perlahan-lahan aku mulai meninggalkan pasar, beralih membeli pakaianku di Toko Oren. Lebih efisien, lebih menguntungkan. Hanya orang gaptek dan bodoh saja yang tidak mau menggunakan aplikasi super ini.
Beberapa bulan kemudian, kulihat pasar sudah mulai sepi, semuanya beralih ke Toko Oren. Seorang wartawan meliput kalau mereka sedang berdemo ke pemerintah, menuntut Toko Oren untuk ditutup saja karena merusak pasar.
“Skill issue. Mereka aja yang nggak bisa adaptasi dengan digital! Kalau nggak mau berubah, ya tergerus!”
Yang awalnya hanya pakaian, perlahan-lahan aku mulai membeli semua barang melalui Toko Oren. Baju, elektronik, makanan, obat-obatan, bahkan dokternya sekalipun ada di Toko Oren!
Perlahan-lahan pula aku mulai melihat di jalanan, mobil dan motor tidak pernah berhenti. Mereka hanya datang dan pergi, dari rumah ke kantor. Tidak mampir kanan kiri, karena semuanya ada di Toko Oren.
Pasar dan toko-toko sekitar yang awalnya ramai, menjadi sepi. Malam minggu yang selalu ramai, diganti dengan malam-checkout di Toko Oren.
“Cek toko sebelah” tidak bisa lagi diucapkan. Bisa bangkrut mereka kalau pelanggan benar-benar cek harga di “toko sebelah”, karena jelas mereka kalah harga dengan Toko Oren.
Mulai Aja Dulu! Lanjutnya, Bayar.
Awalnya, Toko Oren memang cukup seru untuk dijelajahi. Layaknya laut biru, semua orang bisa berlayar dan mencari nafkah di dalamnya dengan bebas. Ini yang disebut sebagai demokratisasi perdagangan, katanya.
Perlahan-lahan, laut biru itu menjadi penuh. Laut yang awalnya terlihat begitu luas, kini terasa hanya dibatasi oleh algoritma 10 produk awal di halaman terdepan dan halaman pencarian.
Orang-orang mulai berebutan, bagaimana caranya bisa masuk ke dalam halaman terdepan. Langkah-langkah konkrit dilakukan, mulai dari yang klasik seperti melengkapi informasi produk, hingga yang cukup licik dengan “menjoki penjualan” agar jumlah penjualan dan rating didongkrak.
Tapi ujung-ujungnya, kalah juga dengan cukong-cukong berduit banyak. Cukong yang telah terlegitimasi, mereka bekerja sama dengan Toko Oren agar dimasukkan ke halaman terdepan. Hanya mereka saja yang bisa, lawannya tidak bisa. Exclusive deal, katanya.
Cukong-cukong yang tidak kebagian jatah exclusive deal ini, masih disediakan cara lain oleh Toko Oren. Silakan beriklan! Produk dengan harga penawaran iklan tertinggi, akan masuk ke algoritma Toko Oren. Semakin banyak yang ingin beriklan, semakin tinggi pula harga iklannya.
Pelan-pelan, 10 produk awal yang benar-benar produk terbaik di kelasnya, harus digantikan dengan 10 produk dengan harga iklan tertinggi. Kualitas ataupun rekomendasi dari sesama pembeli tidak lagi relevan, yang penting yang iklannya paling mahal.
Janji-janji demokratisasi perdagangan yang memungkinkan semua orang untuk berdagang itu palsu. Semua orang bisa berdagang, tapi hanya yang bayar yang dipuja algoritma.
Dewa Keberuntungan Itu Bernama Algoritma
Kalau dulu, proses perdagangan itu panjang. Barang yang diproduksi di pabrik, dikirimkan ke distributor utama. Dari distributor utama, dikirimkan ke distributor lokal di masing-masing wilayah. Toko grosir mengambil barang ke mereka, yang diteruskan langsung ke toko retail. Semuanya terjadi di masing-masing daerah, dengan jumlah karyawan yang tidak sedikit. Proses ini memang mahal dan (mungkin) tidak efisien.
Sekarang, pabrik atau distributor utama bisa langsung kirimkan produk ke pembeli melalui Toko Oren. Dengan alat produksi dan kapital yang melimpah, tentu saja mereka bisa melibas proses-proses di bawahnya.
Kini, baik toko grosir maupun toko retail hanya mengharapkan oleh satu dewa keberuntungan: Algoritma FYP. Berharap-harap cemas, semoga konten saya kali ini bisa FYP. Kalau tembus, tidak perlu lagi mereka berperang mendaki bukit melawan pabrik.
Cukong Dekengan Pusat
Kalau dulu proses perdagangan ini dikuasai oleh cukong-cukong lokal, kini proses perdagangan langsung dikuasai oleh dekengan pusat. Pabrik lokal jelas tidak mungkin bersaing harga karena kalah kuantitas dengan pabrik-pabrik Cina daratan ataupun Vietnam.
Herannya, kita justru menyambut hangat kedatangan mereka. “Barang murah di tengah ekonomi yang sulit,” katanya.
Kita gagal dalam memberikan perlindungan bagi perekonomian kita sendiri. Kita gagal dalam memberikan langkah yang tepat dalam mengatasi pergeseran perekonomian. Kita gagal membangun industri yang kokoh di tengah gempuran produk eksternal.
Tapi tidak apa-apa, yang penting kita bisa jalan-jalan ke Amerika dengan pesawat jet pribadi, dibayari oleh cukong Toko Oren.