Ndakik-ndakik dan Aktivisme Twitterland

Teguh A. R.
3 min readAug 25, 2020

--

Photo by Volodymyr Hryshchenko on Unsplash

Menggunakan bahasa ndakik-ndakik sejatinya sah saja dilakukan, toh setiap orang masih bebas untuk berbicara. Lebih-lebih, berbicara di media sosial tidak memerlukan proses penyuntingan maupun penyaringan agar dapat dibaca orang.

Tweet-tweet yang ditujukan untuk mendorong atau membawa nilai-nilai gerakan sosial seringkali terjebak dengan permasalahan ini: terlalu menggunakan bahasa yang ndakik-ndakik sehingga gagal dipahami oleh publik dengan baik.

Fenomena ini disebut sebagai curse of knowledge. Sederhananya, kondisi ini terjadi ketika pembicara nggak sadar kalau orang yang sedang diajak bicara sebenarnya nggak paham apa yang sedang diomongkan, sehingga pesangagal tersampaikan.

Selain itu, seringkali pembicara justru akan mengalami smart shaming, pengolokan kepada orang-orang yang dianggap “sok cerdas” akibat menggunakan kata-kata bahasa Inggris dalam pembicaraan sehari-hari.

Hal yang sama pula saat ini terjadi di Twitterland Indonesia: tweet-tweet yang dianggap terlalu ndakik dicap buruk, tanpa diindahkan makna tweet-nya karena gagal untuk dipahami.

Mungkin ada baiknya aktivis gerakan sosial untuk tidak hanya menuliskan gagasannya di Twitter untuk kalangan terdidik saja, namun juga bagi publik, mengingat gagasan mereka seringkali membutuhkan keikutsertaan masyarakat banyak agar dapat terwujud.

Bukan Permasalahan Bahasa, tapi Komunikasi

Seringkali yang dipermasalahkan bukan hanya sebatas bahasa, tapi terkait komunikasi. Tentu, menggunakan bahasa Indonesia dalam pesan akan lebih mudah dipahami oleh masyarakat Indonesia daripada menggunakan bahasa Inggris. Tapi dalam beberapa kasus, istilah-istilah bahasa asing tidak dapat dilepaskan begitu saja.

Meskipun kata “tweet” berbahasa Inggris, namun cenderung lebih mudah dipahami ketimbang “cuitan” yang tepat ada di KBBI. Masyarakat awam juga mungkin dapat lebih memahami maksud dari “download” dibanding “unduh”.

Selain itu, penggunaan istilah-istilah yang sulit untuk diterjemahkan secara langsung, seperti “curse of knowledge”, juga bisa jadi sah-sah saja muncul dalam pesan yang ditujukan bagi publik, selama disertai dengan penjelasan lebih lanjut mengenai istilah tersebut.

Penggunaan istilah yang lebih awam digunakan tentu dapat membantu pemahaman pesan dengan lebih mudah. Semakin mudah pesan dipahami, maka semakin banyak orang yang dapat menerima pesan serta menyebarkan kembali pesan yang telah diterimanya.

Dalam beberapa kasus, pesan dapat gagal tersampaikan apabila disampaikan dengan cara yang tidak dapat diterima oleh publik. Misal, pesan yang disampaikan secara terlalu emosional secara berulang-ulang dapat membuat orang emosi terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa cara penyampaian pesan yang kurang pas dapat menimbulkan ketidaksukaan lawan bicara terhadap cara penyampaian daripada inti pesan itu sendiri.

Dalam hal ini, penggunaan bahasa dan istilah yang ndakik-ndakik bisa jadi bukan satu-satunya permasalahan, melainkan pesan yang sulit diterima publik secara keseluruhan akibat kesulitan memahami ataupun cara penyampaian pesan.

Mudah Dipahami, Bukan Dangkal

Hal yang sejatinya perlu dilakukan adalah membuat pesan menjadi mudah untuk dipahami, bukan membuatnya menjadi bermakna dangkal. Dengan menggunakan istilah yang lebih sederhana, inti dari pesan tetap dapat tersampaikan dengan utuh meskipun bisa jadi membutuhkan waktu yang lebih lama.

Hal yang perlu dipahami adalah bahwa pemahaman tidak bersifat langsung, melainkan bertahap. Itu sebabnya sebelum kita menggunakan variabel “x”, dan “y” dalam perhitungan aljabar semasa sekolah, kita diberikan soal dengan variabel nama-nama buah dalam soal cerita matematika kita. Hal ini semata-mata bertujuan untuk memudahkan kita untuk memahami konsep dasar terlebih dahulu, sebelum kita memberikan informasi lebih lanjut yang lebih lengkap.

Tentu terdapat kemungkinan apabila hanya berhenti pada penjelasan-penjelasan dasar, maka inti gagasan akan terkesan sepotong-potong dan justru menimbulkan pemahaman yang salah. Oleh karenanya, perlu dilakukan pemahaman secara terus menerus agar semakin banyak masyarakat yang memahami isu dengan baik.

Semakin mudah pesan dapat dipahami, maka semakin banyak orang yang setidaknya mendengarkan isu yang dibawa. Semakin banyak orang yang mendengarkan isu, semakin banyak pula orang yang ingin mencari tahu lebih dalam, dan dapat berujung pada semakin banyak orang yang turut membantu gerakan sosial tersebut.

Bukan Tanggung Jawab Siapa-siapa

Apa jangan-jangan, tulisan saya ini justru terkesan ndakik-ndakik karena sok memberi saran orang lain untuk menulis?

Bisa jadi.
Sangat mungkin terjadi.

Tapi toh, apa yang saya ucapkan juga bukan tanggung jawab siapa-siapa. Kembali lagi, siapapun berhak untuk mengutarakan gagasannya di media sosial, mau menggunakan bahasa ndakik-ndakik atau yang sederhana.

Orang juga berhak untuk mengkritisi tulisan yang terlalu ndakik-ndakik ataupun yang terlalu sederhana. Saya pun juga berhak untuk menulis tulisan ini. Siapapun juga berhak untuk mengkritisi tulisan saya ini.

Sehingga, yang harus dihindari adalah pembatasan kebebasan berpendapat. Jangan sampai, orang dilarang berbicara hanya karena dia terlalu ndakik-ndakik. Orang yang memang gagal paham juga jangan dilarang untuk meminta penjelasan orang yang terlalu ndakik-ndakik.

--

--

Teguh A. R.
Teguh A. R.

No responses yet