Menjadi Entrepreneur Itu Bukan Prestasi, tapi Hanya Sekedar Pilihan

Teguh A. R.
4 min readJun 1, 2019

--

Kedua orang tua saya adalah wiraswasta. Sewaktu masih bersama, mereka membuat usaha spa yang konon waktu itu merupakan spa pertama di Jawa Timur. Setelah berpisah, usaha spa dilanjutkan oleh ibu saya, sementara ayah saya bergonta-ganti usaha hingga saat ini. Dari kecil, saya sudah dekat dengan lika-liku menjadi seorang wiraswasta dan sempat membuat usaha kecil-kecilan.

Cerita ini diinspirasi oleh video ini. Selain mbak Dian Sastro yang cantiknya sangat menyenangkan, pesan dari video ini benar-benar relatable buat saya.

Saya ingat betul, bulan puasa adalah bulan yang tidak begitu menyenangkan buat usaha saya. Usaha spa selalu diidentikkan dengan hal yang tidak-tidak, sehingga meskipun usaha spa saya bukan usaha yang aneh-aneh, persepsi seperti ini tetap tercatat di masyarakat. Alhasil, usaha spa selalu sepi pengunjung selama bulan puasa. Meskipun tidak banyak berpengaruh mengingat kami usaha yang baik-baik saja, bagaimanapun omzet tetap menurun.

Orang tua saya selalu deg-degan setiap harinya, karena khawatir tidak dapat membayar THR tepat waktu kepada karyawan-karyawannya. Beberapa kali terpaksa harus pinjam sana sini agar karyawannya bisa bersuka cita di kampung halaman masing-masing, meskipun sudah menabung sejak beberapa bulan sebelumnya.

Hingga suatu saat, pemerintah mengeluarkan peraturan untuk menutup usaha-usaha seperti karaoke, panti pijat, dan spa tanpa terkecuali selama bulan puasa. Mungkin ini adalah bukti nyata dari peribahasa “akibat nila setitik rusak susu sebelangga”, kami tidak pernah berbuat buruk namun harus ikut menanggung kerugian. Alhasil, kami sama sekali tidak mendapatkan pendapatan selama sebulan.

Apa yang lebih menyedihkan dari tidak adanya pendapatan?
Menyadari bahwa pengeluaran tidak peduli apapun tentang kesedihanmu.

Perusahaan tetap harus membayar gaji pokok pegawai-pegawainya, tidak lupa dengan uang THR mereka. Uang sewa gedung, listrik, dan tagihan-tagihan lainnya juga tetap datang. Praktis, tidak ada pendapatan sama sekali tapi pengeluaran hampir dua kali lipat.

Tentu, tidak semua pengusaha berkecimpung di dunia usaha spa. Tapi dijamin, setiap perusahaan akan selalu deg-degan untuk memenuhi uang THR karyawannya. Setiap usaha juga memiliki naik-turun pendapatan selama bulan puasa, membuat ketidakpastian menjadi-jadi selama sebulan penuh.

Perlu dicatat bahwa saya tidak menyalahkan bulan puasa, tapi ini adalah realita kehidupan entrepreneur yang tidak pernah ditulis di buku-buku motivasi 100-ribuan itu.

Ketidaktenangan juga terjadi tidak hanya di satu bulan setiap tahunnya saja, tapi setiap hari.

Bagi mayoritas orang, bekerja “hanya” perkara jam 9 hingga 5 sore setiap hari Senin hingga Jumat. Buat pengusaha, seluruh waktu mereka adalah bekerja sehingga setiap menit, mau tidak mau, akan terbawa pada pikiran “bagaimana usaha hari ini”, “apa yang bisa saya lakukan”, “apa yang kurang”, dan sejenisnya.

Hajat hidup seluruh karyawan bergantung pada perusahaan, dan sejatinya satu-satunya orang yang paling bertanggung jawab atas perusahaan ya pengusaha itu sendiri. Setiap waktu dan tenaga akan dihabiskan untuk tetap mengembangkan usahanya, meskipun ia sedang tidak berada di tempat usaha.

Nongkrong di kafe, pengusaha akan cenderung melihat sekitar lalu berpikir mengenai biaya membuat kafe tersebut. Duduk di kursi, mengira-ngira siapa kenalannya yang bisa membuat kursi serupa. Memesan minuman, memprediksi berapa biaya produksi dan keuntungannya. Membayar tagihan, menilai seberapa baik customer service kafenya. Se-rempong itu menjadi pengusaha, pikirannya tidak pernah tenang.

Belum lagi dalam berusaha itu sendiri, semuanya serba tidak bisa diprediksi. Sekeras apapun kerjamu selama ini, sebanyak apapun waktu, tenaga, dan modal yang sudah dikeluarkan, hingga seberapa banyak air mata dan keringat yang menetes, tidak ada yang bisa menjamin usahamu akan berhasil. Uang hasil tabunganmu selama 5 tahun bekerja untuk memulai usaha, bisa-bisa habis dalam 5 bulan berjalannya usahamu.

Melihat saudara yang sedang menganggur, hati ingin segera membantu agar mereka mendapat pekerjaan. Beberapa akhirnya memohon untuk dijadikan karyawan, namun pada akhirnya begitu bekerja sama sekali tidak dapat membantu perusahaan. Ingin memberhentikan atau menolak, sungkan karena saudara sendiri. Tetap dipekerjakan justru membawa dampak buruk ke usaha dan karyawan lain.

Tentu, begitu kesuksesan usaha mulai terasa maka aspek-aspek duniawimu satu persatu akan terpenuhi. Tapi hanya Tuhan yang tahu berapa banyak tenaga, waktu, dan air mata yang harus kalian habiskan untuk mendapatkan itu semua. Begitu suksespun, pengusaha harus tetap dapat mempertahankan usahanya agar tetap berkembang. Lengah sedikit, kalah dengan pesaing atau gagal dalam beradaptasi dengan waktu.

Omzet semakin menurun, terpaksa harus mengurangi pendapatan agar tidak merugi. Berbicara dua mata untuk memberikan kabar buruk, sembari mengharapkan pengertian bahwa tulang punggung keluarganya harus kembali mencari pekerjaan sama sekali bukan pemandangan yang mengenakkan. Melihat jumlah karyawan semakin sedikit setiap bulannya, usaha yang semakin sepi, harus berhutang kesana kemari untuk menutup kerugian, hingga harus akhirnya benar-benar menutup usaha yang gagal.

Saya melihat semuanya secara langsung. Menjadi wiraswasta yang sesungguhnya tidak pernah semudah omongan motivator.

Dari jerih payah membangun usaha, merasakan nikmatnya kesuksesan, hingga meratapi kehancuran usaha. Saya menyadari bahwa ini adalah pilihan hidup yang serius, bukan piagam prestasi yang kalian bisa pajang di dinding ruang tamu kalian.

Suatu saat saya akan tetap menjadi pengusaha yang berhasil. Tapi saya tidak pernah merekomendasikan ini untuk ke semua orang. It’s not for everyone.

--

--

Teguh A. R.
Teguh A. R.

No responses yet