Mencintai yang Medioker
Saya sering diolok teman-teman saya saat ngomongin bola. Disaat yang lain ngefans dengan Real Madrid, Manchester United, atau Juventus, saya justru memilih klub medioker: Tottenham Hotspur.
Buat yang nggak tahu, Tottenham bukan klub besar. Prestasi paling membanggakan Tottenham adalah masuk final Champions League. Nggak juara, cuma masuk final aja udah bangga setengah mati.
Saya sempat ngobrol dengan orang kantor yang ternyata kebetulan suka bola, “Kamu ini masochist betul kalau suka Tottenham. Klub kok medioker.”
Sewaktu saya sekolah, saya juga lebih suka memilih “sekolah favorit nomor dua”, nggak pernah yang pertama. Selain karena nilai saya nggak pernah cukup, saya nggak pernah ada niatan sama sekali untuk masuk yang pertama.
Hingga saya bekerja sekarang, saya (secara tidak sadar) ternyata memilih sesuatu yang medioker lagi. Berkali-kali tawaran datang dari Jakarta, kota yang sangat kompetitif dan mendukung karir, tapi saya tetap bertahan di Surabaya. Lagi-lagi, saya memilih sesuatu yang nomor dua.
Seiring berjalannya waktu, mulai sadar kenapa kok dari dulu selalu suka yang medioker: Semangat untuk melawan kemapanan.
Nggak seru kalau belum apa-apa, sudah dijagokan juara.
Nggak seru kalau baru mulai, semuanya sudah mapan siap jalan.
Justru serunya ketika selama ini diremehkan, ternyata bisa melawan ekspektasi orang kebanyakan.
Kalau Tottenham juara, pasti banyak yang bingung. Kalau sekolah saya tiba-tiba nilainya lebih tinggi, pasti pujiannya tinggi sekali. Kalau industri Surabaya bisa mengalahkan Jakarta, tentu luar biasa.
Tapi sampai saat ini, mimpi-mimpi di atas belum juga kejadian, masih saja menjadi medioker. Mungkin, mencintai yang medioker perlu diimbangi dengan kemampuan untuk tahan banting dan perasaan tidak tahu malu. Pokoknya, maju saja!