Kenapa Hoax dan Misinformasi Mudah Tersebar?

Teguh A. R.
2 min readAug 2, 2020

--

Source: Gettyimages.

Jawaban singkatnya: Karena kita ingin ikut-ikutan saja.

Menurut Hendricks dan Hansen, dengan adanya arus informasi yang luar biasa dalam waktu singkat, manusia akan cenderung untuk bertindak cepat dengan informasi yang ada. Sebagai contoh, ketika kita melihat banyak orang berlarian sambil berteriak ketakutan, secara insting kita akan ikut berlari mengikuti kerumunan tanpa berpikir panjang apa yang sebenarnya terjadi.

Hal yang sama bisa kita lihat di kehidupan sehari-hari terkait dengan informasi.

Terlebih dalam masa pandemi, mudah sekali kita berada dalam situasi tersebut. Ketika beberapa orang menyebarkan informasi yang sama dan kita juga tidak mengetahui informasi tersebut dengan pasti, kita akan cenderung melakukan dua hal.

Pertama, mencari tahu kebenaran akan informasi tersebut. Meskipun di era internet, kita dapat dengan mudah mencari fakta-fakta tersebut di Google, proses ini dapat terasa melelahkan dan memakan waktu sehingga tidak banyak orang yang melakukannya.

Kedua, orang akan bertanya pendapat orang lain dan mengikuti arus sosial yang ada. Hal ini lebih mudah dilakukan, karena orang cukup melihat pandangan orang lain saja tanpa harus mencari tahu fakta. Seringkali di dalam naskah-naskah hoax dan misinformasi, sudah ada pendapat yang tertulis di dalamnya sehingga sudah menjadi “satu paket” dalam penyebarannya.

Ditambah lagi dengan media sosial, kita bisa dengan jelas melihat seberapa banyak orang yang sependapat dengan naskah-naskah tersebut. Kita bisa melihatnya dari jumlah view, like, share, dan lain sebagainya. Semakin tinggi angka-angka tersebut, semakin orang akan merasa bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang dianggap benar, karena toh banyak orang lain juga mempercayainya.

Selain itu, arus informasi tidak hanya berhenti dari satu posting-an saja. Melakukan sharing melalui WhatsApp, membawa topik pembicaraan di dunia nyata, serta melakukan repost dapan menambah media penyebaran dan sulit melacak siapa penyebar awalnya. Hal ini membuat setiap media penyebaran memiliki pendapatnya sendiri yang tanpa disertai informasi yang benar justru akan semakin memunculkan asumsi-asumsi liar dan semakin ngelantur.

Masih ingat permainan jaman SD, yang mana kita berdiri dalam satu baris dan satu orang membisikkan satu kalimat dan orang selanjutnya harus membisikkan yang ia dengar ke orang selanjutnya? Seringkali, apa yang diomongkan di awal barisan akan berbeda dengan apa yang terdengar di akhir barisan. Hal yang sama akan terjadi di masyarakat.

Sudah awalnya salah, di akhir malah ngelantur. Karena informasi tidak hanya tersebar secara tekstual, melainkan ada hal-hal kontekstual seperti persepsi dan pandangan pelaku penyebar informasi.

Apa sebenarnya hal ini tidak bisa dihindari?

Sejatinya, bisa. Sederhana sebenarnya, ketika mendapat informasi, alih-alih mengandalkan cara kedua yang mengikuti arus sosial, kita juga harus setidaknya melakukan pencarian fakta secara mandiri terlebih dahulu. Tapi mengingat minat membaca kita sangat rendah (urutan 62 dari 70), tentu ini sulit untuk diatasi begitu saja.

Ah, seandainya kita tidak semalas itu untuk membaca.

--

--

Teguh A. R.
Teguh A. R.

No responses yet