Kenapa Demonstrasi Indonesia Tidak Bisa Seperti Hong Kong?

Teguh A. R.
4 min readFeb 12, 2020

--

Source: Gettyimages.

Demonstrasi September 2019 sempat digadang-gadang akan mengulang kembali reformasi 1998 yang mampu merevolusi pemerintahan. Demonstrasi tidak hanya berlangsung di Jakarta sebagai pusat pemerintahan, namun juga terjadi di berbagai penjuru Indonesia.

Sayangnya, tidak ada hal berarti yang terlahir dari Demonstrasi September 2019 ini. Tuntutan utama untuk membatalkan UU KPK sepenuhnya tidak dituruti dan hanya akan ditunda pada periode DPR selanjutnya. Padahal, beberapa orang dilaporkan meninggal dunia saat mengikuti aksi demonstrasi ini. Hingga saat ini, kelanjutan tuntutan ataupun aliansi Demonstrasi September 2019 tidak terdengar kabarnya.

Di satu sisi, tuntutan para demonstran Hong Kong juga tidak terpenuhi hingga sekarang. Namun, demonstrasi Hong Kong masih berlangsung sejak 15 Maret 2019 dan menjadi fenomena politik dalam negeri Hong Kong maupun politik internasional. Meskipun telah berjalan lebih dahulu, aksi demonstrasi bukannya semakin menyepi namun justru semakin menguat.

Dengan dua realita yang begitu berbeda, sebenarnya apa yang membedakan antara aksi demonstrasi Indonesia dengan demonstrasi Hong Kong? Kenapa aksi Hong Kong tetap terus berkembang, namun demonstran Indonesia seakan lenyap begitu saja?

Tuntutan yang Tidak Terfokus

Hal yang paling mendasar adalah ketidakjelasan tuntutan yang diminta saat Demonstrasi September 2019. Berawal dari tuntutan untuk penolakan UU KPK, tuntutan aksi Demonstrasi September 2019 menjadi begitu bias dan tidak terfokus.

Aliansi Rakyat Bergerak memberikan 7 tuntutan, BEM Seluruh Indonesia juga memberikan 7 tuntutan versi mereka sendiri. Terdapat lagi 9 tuntutan yang keluar saat Gejayan Memanggil 2.

Dari tiga tuntutan ini saja dapat dilihat bagaimana bervariasi isu yang diangkat serta hal-hal apa saja yang dituntut. Bahkan dari ketiganya, isu UU KPK tidak ada yang masuk menjadi tuntutan pertama, membuat aksi Demonstrasi September 2019 menjadi cukup membingungkan tujuannya. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa kelompok yang menafsirkan tujuannya sendiri-sendiri terhadap aksi ini yang dilihat dari isu apa saja yang mereka angkat, dan minimnya kesepakatan bersama atas isu penting yang ingin diatasi.

Mari bandingkan dengan 5 tuntutan demonstran Hong Kong:

  • Complete withdrawal of the extradition bill from the legislative process.
  • Retraction of the “riot” characterisation.
  • Release and exoneration of arrested protesters.
  • Establishment of an independent commission of inquiry into police conduct and use of force during the protests.
  • Resignation of Carrie Lam and the implementation of universal suffrage for Legislative Council elections and for the election of the Chief Executive.

Tuntutan utama dan pertama adalah mencabut undang-undang ekstradisi yang menjadi polemik dasar bagi warga Hong Kong. Tuntutan-tuntutan lainnya adalah tuntutan lanjutan yang mengarah pada ketidakpuasan demonstran terhadap bagaimana pemerintah Hong Kong menanggapi aksi demonstran tersebut. Tuntutan yang disampaikan jelas dan memiliki tujuan, tanpa harus membawa isu-isu diluar isu utama ataupun yang berkait dengan aksi itu sendiri.

Relasi Patron-Klien

Beberapa beranggapan bahwa Demonstasi September 2019 yang disebut sebagai aksi mahasiswa memiliki permasalahan tersendiri, yaitu hubungan patron-klien antara mahasiswa dengan kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kuasa lebih. Seorang politisi menyebut bahwa terdapat organisasi mahasiswa yang merupakan underbow dari partai politik tertentu. Ironisnya, terdapat asumsi pula yang menyebut bahwa beberapa partai, termasuk partainya sendiri, memiliki keterkaitan erat dengan organisasi-organisasi mahasiswa.

Hal ini sejatinya merupakan rahasia umum yang dapat ditelisik lebih lanjut saat mengikuti perpolitikan kampus yang didominasi oleh organisasi-organisasi tersebut. Dominannya organisasi tersebut berbanding lurus dengan sejarah organisasi yang telah lama terbentuk serta dukungan-dukungan yang mereka dapatkan selama berorganisasi.

Mengikuti teori patron-klien, maka dapat dipahami bahwa perilaku organisasi-organisasi mahasiswa akan menyesuaikan kepentingan kelompok yang mendukung mereka selama ini. Maka tidak heran apabila aksi demonstrasi yang digalang oleh mahasiswa ini akan melempem ketika dihadapkan dengan kepentingan-kepentingan patron mereka.

Meskipun isu yang diangkat dapat dibilang merupakan isu grassroot, tidak dapat dipungkiri bahwa pada akhirnya para juru bicara demonstran berasal dari organisasi-organisasi ini.

Di satu sisi, aksi di Hong Kong disebut-sebut sebagai aksi leaderless. Satu per satu pemimpin demonstrasi ditangkap, namun hal tersebut tidak membuat aksi berhenti. Joshua Wong disebut-sebut sebagai pemimpin aksi, namun lagi-lagi tidak ada konsensus yang menyebutkan bahwa aksi ini memiliki pemimpin karena Wong-pun seringkali mendapatkan kritik. Alhasil, mereka terfokus pada tujuan tanpa perlu bergantung pada siapa yang memimpin.

Hanya Untuk Konten Semata

Meskipun saya yakin banyak dari para demonstran yang sepenuh hati berjuang untuk mewujudkan tuntutannya, beberapa demonstran justru terfokus pada hal lucu-lucuan semata.

Spanduk-spanduk protes lucu, yang tentunya memiliki makna tersendiri, justru menjadi fokus perhatian. Tentunya, spanduk-spanduk ini memiliki dasar strategi tersendiri. Sepertinya membosankan ketika spanduk hanya bertuliskan kata-kata tuntutan, sehingga penggunaan pop culture dapat menggairahkan semangat serta meningkatkan persebaran pesan. Hal ini dapat dilihat dari banyak aksi demonstrasi di era informasi yang seringkali menggunakan meme sebagai sarana maupun pesan protes.

Sayangnya, pesan-pesan menggelitik demonstran, tidak menjamin penerima pesan memahami makna yang diinginkan. Bisa-bisa, orang hanya menganggap pesan tersebut sebagai lucu-lucuan semata. Lebih mengerikan lagi kalau ternyata memang dari awal spanduk lucu tersebut memang diniati ya hanya sebatas itu, lucu-lucuan, tanpa pesan maupun niat untuk memprotes dengan serius.

Mari bandingkan dengan keseriusan demonstrasi Hong Kong. Meskipun Hong Kong juga memiliki referensi pop culture dalam protes mereka, keseriusan mereka tidak perlu diragukan lagi. Seperempat -saya ulangi, seperempat!- populasi mereka turun ke jalan untuk melakukan protes. Artinya, setidaknya satu dari empat orang merelakan waktu dan tenaganya untuk menyuarakan suaranya. Tentu, apabila hal tersebut terjadi di Indonesia kemungkinan besar dunia akan ricuh. Tapi, niat dan kesungguhan warga Hong Kong terhadap isu tersebut benar-benar nyata dan mewakili banyak penduduknya.

Belajar Dari Sini dan Sana

Tentu, aksi Demonstrasi September 2019 tidak sepenuhnya sia-sia, meskipun toh tidak ada satupun tuntutan yang terwujudkan. Beberapa aksi demonstrasi berlangsung dengan rapi, bahkan disertai dengan semangat sosial-sosial di dalamnya. Banyak orang yang terlibat dan mendukung aksi ini, menunjukkan bahwa masih ada kepedulian warga Indonesia terhadap negaranya. Meskipun aksi Demonstrasi September 2019 jauh dari kata sempurna, banyak hal yang bisa diteruskan dan menjadi fondasi bagi aksi-aksi berikutnya. Tidak luput pula bahwa sejatinya Indonesia berdiri dari gerakan-gerakan golongan muda, mulai Sumpah Pemuda, Rengasdengklok, hingga Reformasi 1998, sehingga semangat itu seharusnya akan selalu ada.

--

--

Teguh A. R.
Teguh A. R.

No responses yet